Zamannya..

  • Bagikan
Ojek online (kiri) dan layanan taksi online (kanan)

Ini bukan buat promosi atawa publikasi apalagi ndomplengi. (Kalo pihak yang bersangkutan mau dijadikan bahan, silahkan hub saya di chat pribadi ya hehe..).

Zamannya kemudahan, praktis, cepat, nyaman, transparan, dan inilah zamannya. Era kekinian. Yang tidak menyesuaikan akan mati, cepat atau perlahan-lahan. Yang lelet bergerak, akan tertinggalkan. Yang malas mengembangkan potensi akan tergerus.

Bahkan yang ngeyel dengan pendapat tua-nya, akan dilumat waktu. Yang keukeuh pada egonya, tunggu saja tumbangnya. Dan kamu, yang rumit dengan kemampuan orang lain, hidup saja dengan duniamu sendiri. Generasi ini Gen Y, atau The Youth Generation. Yang muda yang bekerja, yang muda berpikir, dan yang muda pula yang mampu melakukannya. (Muda dalam artian berjiwa fresh, kreatif, inovatif, pemikir sekaligus pekerja keras, serta tidak takut pada perubahan).

Itu baru prolog. Nah ini poinnya! (Sorry, ini bukan berita yang bentuk piramida terbalik).

Gambar satu, adalah perusahaan pelopor ojek online di negeri ini. Dia melayani antar jemput penumpang secara online. Dari titik duduknya berangkat, sampai titik duduknya juga di tempat tujuan. Praktis, tinggal buka smartphone, klik, ketik, ting.. berangkat!

Sebagai orang yang jarang berkeliling di ibukota, saya sengaja ingin merasakan ‘penderitaan’ orang-orang di sini, Jakarta. Maka saya coba ‘keseharian’ masyarakat kota ini. Dari satu tempat ke tempat lain, menggunakan Ho-Jek (sengaja disamarkan). Saya memesannya menggunakan aplikasi Line. Tidak menginstal aplikasi perusahaan Ho-Jek lagi (ini inovasi mereka: hemat RAM dan memudahkan customer tentunya).

“Mas Gugus ya?”

“Iya bang,”

“Ke Kalibata di bagian mana?”

“Di Tower Cendana bang,”

“Oke. Ini, pake masker ya mas,”

Dan, “Let Go!” begitu tertulis di chat Line saya ketika si abang ojek usai mem-pick up penumpangnya. Kami pun jalan sambil ngobrol. Saya bilang baru pertama mau ke tempat itu. Si abang mengantar meski mutar-mutar mencari diantara beberapa tower di kawasan apartemen elit itu.

Bayarannya, sama persis dengan yang tertulis di aplikasi saat menentukan lokasi awal dan tujuan. Kalo pun mau dilebihkan, itu urusan keikhlasan ente lah..

Nah, berlaku seperti itu untuk tujuan dekat maupun jauh. Bahkan saat dia tidak tahu lokasi persisnya, dicariin bro. Meski dengan sewa yang tetap sama di pesanan. Pernah juga waktu itu, saya cuma singgah ambil barang sebentar, mau lanjut ke tujuan berikutnya. Si abang bilang, “Order lagi aja mas, selesaiin yang ini dulu tapinya. Kalo pun orang lain yang terima nggak apapa ya”.

Setelah bayar ojek tadi, saya order lagi. Dan benar, yang menanggapi, nama serta wajah berbeda. Bukan yang tadi. Tidak sampai dua menit kemudian, ojek selanjutnya menelepon lalu datang menjemput saya, dia saling sapa dengan ojek pengantar saya sebelumnya.

Beda cerita dengan Crab-Car (samarkan juga) yang di gambar dua. Dia bukan taksi, dia orang biasa. Dia hanya punya mobil, sendirian, dan kebetulan searah dengan tujuan saya (bersama teman saat itu).

Pesan lewat aplikasi, tentukan lokasi tujuan, dan yang approve tidak jauh dari keberadaan kami dengan arah tujuan yang sama. Mobilnya bersih, jenis MPV. Sang pemilik mobil ramah, tidak ngedumel saat macet, dan tenang-tenang saja. Yang paling penting ini: “Kasih uang pas ya mas,” katanya.

Ho-Jek, dari tarif Rp 40 ribu di pangkalan, pakai jasa ini hanya Rp 12 ribu. Crab-Car, seharusnya mungkin Rp 100 ribuan, hanya membayar Rp 36 ribu. Selain itu, mereka dapat poin tiap ngangkut penumpang. Entah diapakan poin itu, saya belum tanya ke pihak perusahaan Start-Up bersangkutan.

Yang pasti begini, biasanya para tukang ojek nongkrong di pangkalan menanti penumpang, kini mereka tinggal tongkrongi smartphone dimana pun berada. Tidak hanya melayani antar jemput orang, minta beli sesuatu pun bisa sama dia.

“Yang ribet itu paling kalo ada pesanan makanan yang banyak. Bukan pesanannya, tapi lama ngeceknya,” kata salah satu ojek dalam perjalanan Kebayoran Lama-Tebet Timur. Ini biasanya berlaku untuk perusahaan yang menitip dibelikan makan siang bagi karyawannya. Takut tidak cukup mungkin, ya. Saya prediksi tidak ada niat memberi satu porsi untuk si ojek hehe..

Jika dalam sehari ojek pangkalan banyak waktu dihabiskan nongkrong, main catur, dan bacarita (seperti di Kendari), di ojek online bisa mobile. Pangkalannya ada di mana saja. Di mana dia berada, bisa mengambil penumpang di sekitar situ.

Sedangkan taksi online, daripada pulang kosong, apalagi santai, mending beri tumpangan orang lain dan dapat duit. Kalo bisa akrab, tambah teman juga.

Nah soal waktu, fleksibel. Ada ojek tumpangan saya yang kalau pagi dia menjadi ‘Pasukan Kuning’, sore sampai malam dia ngojek. Sedangkan yang taksi online, bekerja sebagai dosen, pegawai ataupun karyawan, bisa nyambi di sini. Tambah-tambah uang bensin lah.

Di ibukota, hampir seluruh jalanan umum kita temukan ‘Jaket Ijo’. Entah dari perusahaan Ho-Jek maupun Crab-Bike. “Tenang aja mas, di Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi kami ada. Mas nggak usah kuatir, ntar diantar sesuai tujuan,” kata abang ojek dalam perjalanan ke Stasiun Palmerah.

Kemudahan. Transparansi.

Mindset, budaya dan perilaku kita saat ini berubah. Kata Tifatul Sembiring, mantan Menkoinfo era Presiden SBY, sekarang kita hidup di zaman serba praktis. Kita harus menyesuaikan dengan itu.

“Blokirnya itu bukan di internet, di sini dan di sini (menunjuk kepala dan dada),” ujarnya dalam sesi diskusi tentang Sosial Media di Jakarta, Sabtu (8/9/2016).

Saat ini serba mudah, praktis, cepat. Jarak yang tadinya jauh, kini makin dekat. Kawasan yang tadinya buta, kini jelas, terang benderang. Kekhawatiran yang tadinya tersembunyi, sekarang terbuka. Macet pun dapat ditembus. Selama ini kita khawatir, bertanya-tanya, sekarang cukup tekan tombol, kita sepakat dengan nilainya oke. Kalaupun tidak, cancel saja. Beres, kan?

Kita tinggal pilih, menyesuaikan atau mati. Itu saja. Atau mau lebih berani, jadilah pelaku.

Dari diskusi dengan kawan yang bekerja di perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, yang mana dia juga salah satu pengambil kebijakan di sana, perusahaan start up itu saat ini belum banyak yang untung. Mereka hanya membuat aplikasi, memperbanyak pelanggan, peminat, pengguna, lalu setelah cukup bernilai, tinggal dijual. Nilainya fantastis, berkali-kali lipat dari modal yang digunakan.

Sebut saja sejumlah situs belanja online yang kini diakuisisi, atau aplikasi chat yang dibeli perusahaan kenamaan, termasuk dua perusahaan yang saya ceritakan di atas.

Semua berawal dari keresahan, keprihatinan, keinginan untuk maju, gerakan perubahan, dan tentu saja memudahkan segala keperluan.

Satu hal yang di mana-mana saya terima keluhannya para warga ibukota, “Kita makin ditindas aja mas. Ini nih (menunjuk kawasan elit), dulu banyak warga yang hidup disini. Digusur. Sekarang apa, jadi kawasan elit, terus kagak digunakan,” ujar abang tukang ojek.

“Ini kawasan Priok, akan digusur semua. Dulu pemerintah sudah mau beli tanah warga Rp 15 juta per meter, eh.. sekarang tiba-tiba katanya ini tanah negara. Tidak peduli bersertifikat, pokoknya digusur semua. Warga sini sudah siap berdarah-darah. Pilihannya, ikuti kesepakatan atau mati pertahankan tanah kami,” ujar seorang warga Cilincing, Jakarta Utara.

Persoalannya, warga yang disuruh pindah dari kawasan yang katanya akan jadi wilayah perluasan PT. Pelindo itu, diminta tinggali Rusunawa (rumah susun sederhana sewa). Bukan Rusunami (rumah susun sederhana milik). Sementara tanah yang mereka tinggali sekarang, resmi mereka beli sejak zaman pemerintah saat ini belum tau baca peta.

Entahlah.. Ini zaman praktis atau kapitalis..

#GSM

#PulangKampungSaja deh..

Bekasi Barat, 11 Oktober 2016

 

okambuse.blogspot.com

[email protected]

082193831212

  • Bagikan