Praktisi Hukum: Polemik Pilkada Busel, Undang-undang Bukan Ditafsirkan

  • Bagikan
Ketua Perkumpulan Advokat Indonesia (Peradin) Baubau, Imam Angga Ridho Yuwono (foto: Novrizal R Topa/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: BUTON SELATAN – Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Buton Selatan telah usai 15 Februari 2017. Namun masih menyisahkan perdebatan atau polemik diantara kalangan masyarakat Buton Selatan. Pasalnya salah satu Pasangan Calon (Paslon) Muhamad Faizal-Wa Ode Hasniwati, mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) RI pada 27 Februari 2017 lalu.

Hal itu juga dilansir pada website www.mahkamahkonstitusi.go.id, yang mana Paslon nomor urut 2 memasukkan laporannya pada pukul 19.20 WIB diurutan ke 24 dengan kuasa pemohon Mohammad Toufan Achmad, S.H., Arifin, S.H., dkk.

Terkait polemik selisih hasil perolehan suara yang beredar di kalangan masyarakat Busel, membuat beberapa praktisi hukum ikut angkat bicara.

Misalnya Praktisi Hukum, Dinna Dayana La Ode Malim. Menurutnya persoalan tersebut berhubungan dengan limitasi undang-undang tentang Paslon yang memiliki suara terbanyak dan Paslon yang mengajukan gugatan ke MK tergantung dari jumlah penduduk.Sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, dimana dalam pasal 158 point b, menyebutkan bahwa Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan maksimal 2 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota.

“Kalau melebihi Limitasi UU, laporan itu diterima saja namun semacam kita menggugat di PTUN itu ada namanya Dismisal Proses,” katanya yang juga Akademisi di Unidayan Baubau, Senin (6/03/2017).

Dalam Dismisal Proses akan terlihat memenuhi syarat beracara atau tidak di MK RI. Apabila hal itu belum masuk pada substansi permohonan. Maka dalam Dismisal Proses terdapat putusan sela. Ditahap ini, pihak MK akan memutuskan gugatan dilanjutkan atau berhenti.

“Mahkamah Konstitusi hanya menyelesaikan sengketa hasil. Jika melihat dari kacamata Undang-undang dengan Limitasi dua persen, bagi yang kalah, sebaiknya diterima saja apa adanya. Namun sekali lagi saya tegaskan bahwa undang-undang itu untuk dilaksanakan bukan untuk ditafsirkan,” jekas Direktur Lembaga Bantuan Hukum, Unidayan tersebut.

Diungkapkan Ketua Perkumpulan Advokat Indonesia (Peradin) Baubau, Imam Angga Ridho Yuwono, terkait selisih suara antara Pemohon dan pihak dalam sengketa hasil perolehan suara di Mahkamah Konstitusi. Ada istilah Lex dura sed tamen scripta, artinya undang-undang sering kali terasa kejam dan tegas. Tetapi itu dinilai wajar untuk sebuah peradaban hukum pada rekayasa sosial.

“Rekayasa sosial yang artinya, mengatur hajat hidup orang banyak,” ucapnya.Sedangkan Undang-undang Pemilihan yang berlaku saat ini sudah tidak memiliki celah lagi untuk diperdebatkan. Sebab adanya pranata hukum membuat pihak yang merasa dirugikan harus berperan aktif melakukan upaya hukum jika ditemukan pelanggaran. 

“Peserta pemilihan harus segera melaporkan indikasi pelanggaran disetiap tahapan pemilihan. Namun, bukan membuat taktik upaya hukum dengan menyimpan pelanggaran pihak lain dan membawa pada sengketa hasil di MK,” terangnya.              

Laporan: Novrizal R Topa

  • Bagikan