Hujan itu Sunatullah, Tapi Banjir itu Risiko

  • Bagikan

Oleh: Sri Damayanty, SKM., M.Kes (Dosen Ilmu Kesehatan Lingkungan pada STIK Avicena Kendari)

Matahari masih enggan menampakkan teriknya. Satu – dua hari muncul dengan nada malasnya. Senyum merekah sesaat namun kemudian meredup seketika. Awan dominan mengalahkan kekuasaan matahari. Bumi pun kemudian mendung olehnya, dan air langit turun secara rutin dengan intensitas sedang dan se-sekali dengan nada agak tinggi. Itulah hujan.

Hujan yang begini sesungguhnya adalah karunia Tuhan YME yang tak boleh kita pungkiri, khususnya bagi kita yang beraktivitas penuh di luar. Bayangkan, jika puasa sebulan lamanya kita jalani di bawah terik matahari. Tenggorokan kering, dehidrasi tak terelakkan. Bagi yang kuat imannya dan kuat fisiknya, tentu mampu bertahan hingga saat berbuka puasa. Bagaimana dengan sebaliknya?

Memang hujan menjadi faktor beberapa hal. Mulai dari tingginya angka bolos kerja (saya termasuk), tingginya kasus penderita influenza (saya juga diantaranya), hingga tingginya genangan air yang menenggelamkan beberapa titik daratan.

     Kota Kendari, tercatat telah dua kali mengalami banjir yang cukup hebat selama bulan Mei lalu. Tanggal 14 dan 31 Mei, hujan yang nyaris tak berjeda, membanjiri beberapa daratan kota Kendari. Beberapa wilayah kabupaten dan provinsi lainnya pun bernasib sama. Seperti Buton Utara yang sementara tergenang sebagaimana informasi yang saya peroleh dari laman Sultrakini.com pertanggal 7 Juni 2017. 

Kalau sudah banjir, maka beberapa gejala ikutan lainnya turut mewarnai musibah pilu di musim penghujan ini. Tanah longsor, rusaknya beberapa bangunan akibat aliran arus, rusaknya beberapa titik jalan yang tentu akan menghambat arus mudik lebaran nantinya jika saja hujan tak kunjung mereda. Bahkan menelan korban jiwa. 

Soal air tergenang ini bukan kejadian langka di kota Kendari. Beberapa daerah bahkan menjadi pelanggan tetap. Tinggi rendahnya genangan, bergantung pada lama atau derasnya hujan. 

Turut berduka cita atas terjadinya banjir dimanapun dan kapanpun. Namun saya hanya ingin kita sama-sama merenungi, bahwa hujan yang turun tentu tidak pakai kompromi. Unsur penting kehidupan yang jika di musim panas sungguh dirindukan itu, jatuh seiring Sunnatullah. Tak ada yang bisa menghentikannya selain Yang Maha Pencipta. Bahkan pawang hujan yang belakangan kebanjiran job pun tak mampu menghentikan, mereka hanya mampu menundanya untuk beberapa saat saja. Karena itu, kitalah manusia yang harus bisa berkompromi. Berdamai dengan alam dan beretika pada lingkungan. 

Sesungguhnya, hujan merupakan sebuah siklus. Dimana terjadi penguapan dari air laut (evaporasi) maupun tumbuhan (transpirasi), kemudian terjadi pengembunan (terbentuknya titik-titik air). Titik-titk air tersebut lalu turun ke bumi sebagai hujan, dan meresap ke tanah atau mengalir menuju daerah paling rendah. 

Jadi, air di bumi sesungguhnya tetap volume atau jumlahnya. Adapun banjir terjadi, salah satunya karena tidak berfungsinya lahan dengan semestinya. Karena itu, genangan idealnya hanya akan lewat tanpa perlu berdiam lama-lama di sekitar kita, jika saja lahan kita masih berfungsi sebagaimana fungsinya sebagai resapan air. 

Maka, kejadian banjir yang teramat sering ini semestinya menjadi bahan evaluasi kita. Sudah tepatkah kita memperlakukan lingkungan sekitar?

Sudah kah kita membuat dan memperbaiki saluran air? Jika saja saluran air tidak dijadikan program pemerintah semata, atau malah tidak sebatas program tahunan di wilayah tertentu saja, jelas saluran air tak akan ada putusnya, sehingga mampu dialiri hujan untuk langsung ke daerah terendah. 

Lalu sudahkah kita membuang sampah pada tempatnya? Ini yang nampaknya sangat sulit. Kota yang menyandang status Adipura ini, masih juga mempertontonkan pemandangan kumuh di beberapa sudut kota. Sampah membusuk tak terurus. Sampah yang dibuang sembarangan dan terkena hujan deras, akan mengikuti aliran air sampai ke sungai. Sungai akan meluap lalu terjadi banjir. 

Apakah masih lestari hutan kita? Ini sangat mudah terjawab. Mengingat hutan di beberapa kabupaten di Sultra telah menjadi lahan tambang. Mengapa tambang yang tersebut? Aktivitas pertambangan adalah salah satu faktor utama dari gundulnya hutan-hutan kita. Padahal hutan merupakan kawasan tadahan yang mampu menyerap air hujan. Maka wajar saja banjir kerap terjadi, sebab kita kehilangan banyak areal resapan. Reboisasi wajib untuk dilakukan, sesegera mungkin. 

Tentu masih banyak hal yang perlu kita evaluasi. Berikut segera melakukan perbaikan bentang alam. Baik memperbaiki bentang yang sudah rusak, maupun mendesain bentang alam untuk tujuan yang bermanfaat. 

Pembangunan bendungan mungkin perlu dipertimbangkan. Ini sangat membantu mencegah terjadinya banjir di kemudian hari. Bendungan berfungsi menampung air dengan ukuran yang sangat besar. Selain itu, bendungan dapat difungsikan untuk pengairan, tempat rekreasi dan pemancingan, atau sebagai pembangkit listrik tenaga air.

Paling sederhana lagi adalah membuat sumur resapan. Sumur resapan berfungsi menyerap air hujan ke dalam tanah dan kembali ke siklus air yang semestinya sehingga tidak menggenang di permukaan. 

Dan lebih mudah lagi untuk dilakukan setiap individu, adalah menanam pohon di area sekitar rumah. Menanam pohon berbatang besar atau yang memiliki daya serap air tinggi, seperti pohon mangga, tanaman pacar air, pohon duku, dan lain-lain, dapat membantu menyerap air yang tergenang di sekitar rumah. 

Banyak hal yang perlu dibenahi, dan lebih banyak lagi yang perlu kita lakukan. Sehingga tak perlu kita menyalahkan hujan. Terlebih saling menyalahkan. Sebab banyak hikmah yang dapat kita ambil. Boleh jadi bumi kita sungguh merindukan hujan, dari kekeringan yang dirasakan kurun waktu yang cukup lama ini. 

Hujan adalah Sunnatullah, tapi banjir adalah risiko dari serangkaian aktivitas kita yang tak bijak. Mari kita selamatkan diri, mari kita selamatkan lingkungan. Insya Allah.

     

     

  • Bagikan