Hiruk Pikuk PilkadaBombana, Menang Bermasalah atau Kalah Terhormat?

  • Bagikan
Irwan Saputra, SH. Foto: st

Oleh: Irwan Saputra, SH

Dalam diskursus kajian-kajian politik yang dilakukan mahasiswa asal Kabupaten Bombana bersama dengan pengamat politik kelas teri terhadap hasil pleno pilkada serentak di Kabupaten Bombana pada 15 Februari 2017 lalu, melahirkan sebuah pertanyaan, “pilih mana, menang bermasalah atau kalah terhormat?”

    Pertanyaan tersebut sesungguhnya guyonan atau candaan semata yang didasarkan atas timbulnya riak-riak pasca pilkada. Hasil pleno KPUD Bombana yang diumumkan pada 23 Februari 2017 menetapkan bahwa pasangan nomor urut 2 (dua), H. Tafdil SE, MM – Johan Salim SP memperoleh suara terbanyak dengan total 40.991 suara. Sementara pasangan calon nomor urut 1 (satu) Ir. H Kasra Jaru Munara – H. Man Arfah, S.Pdi, memperoleh 39.727 suara.  Artinya, Tafdil – Johan unggul 1.264 suara atau 1,56 persen. 

     Pihak pasangan calon nomor urut satu menggugat atas kemenangan suara pasangan calon nomor urut dua ke Mahkamah Konstitusi dengan dalih bahwa selama prsoses pilkada berjalan, cukup banyak bukti kecurangan yang ditemukan oleh timnya di lapangan. Pihaknya juga menegaskan bahwa “kecurangan itu sangatlah banyak, dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif”. 

     Menyikapi hal tersebut, masyarakat kecil pendukung Tafdil-Johan dengan nada sinis berceloteh “kemenangan ini pun belum terbukti adalah kemenangan yang bermasalah, dan kekalahan itu sudah pasti kekalahan terhormat”. Tentu celotehan ini sangat benar, jika proses pilkada yang dilakukan tanpa kecurangan dan semua berjalan sesuai dengan standar operasional prosedur yang ada.

     Namun, jika sekiranya gugatan pasangan nomor urut satu diterima dan diproses oleh Mahkamah Konstitusi, maka kebenaran akan terungkap di meja hijau. Disana kita akan melihat jawaban atas celotehan-celotehan berbagai pihak atas hasil pilkada tersebut. 

     Kita semua paham, bahwa bukanlah langkah ideal jika pemimpin daerah dihasilkan dari kecurangan-kecurangan selama  proses berdemokrasi, sekalipun itu dihasilkan dari upaya kuratif (pengobatan) atas kecurangan yang ada. Akan tetapi jauh lebih baik dan lebih ideal jika dilakukan dengan langkah preventif (pencegahan) atas kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam praktik politik. 

     Blaise Paskal, pemikir Perancis, pernah mengatakan bahwa keadilan dan kekuasaan harus sejalan. Kita (masyarakat) perlu berpikir dan bekerja keras agar keadilan dapat berkuasa, dan kekuasaan dapat menjadi adil. Namun bagaimanapun juga, kenyataan politik tidak selalu sama dengan yang kita harapkan bahwa perjuangan politik untuk kesejahteraan rakyat tidak akan menuai hasil jika rakyatnya bobrok dalam berpolitik, dan jika pelaku politik belum mampu membedakan mana money politik (politik uang) dan mana “sodaqoh/sedekah”. Ditambah lagi jika situasi politik masih mendengungkan kalimat pembenaran atas blackpolitik, “ambil uangnya jangan pilih orangnya”.

     Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa sila kelima Pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia” yang termanifestasi dari sila pertama, “keTuhanan Yang Maha Esa” baru sebatas pengucapan di bibir, belum sampai pada penghayatan apalagi pengamalan. Maka wajar kita mempertanyakan, masihkah kita berkeTuhanan Yang Maha Esa jika kita masih berpura-pura dan tidak tahu menahu maksud pemberian lembaran-lembaran rupiah dari tangan para tim sukses? Dan apakah kita pantas mengharapkan pemimpin yang adil sementara di waktu yang berasamaan, kita dengan bangganya mengenakan topeng dalam proses perpolitikan? Miris memang.

     Sudah terlalu banyak persoalan-persoalan yang menimpa daerah kita, wonua Bombana. Mulai dari status daerah tertinggal, kasus CPNS K1 dan K2 serta mega proyek yang hanya mensejahterakan para pemenang tender proyek itu sendiri sedangkan rakyat menjerit dalam derita. Penulis khawatir persoalan-persoalan itu tidak akan bisa diselesaikan oleh pemimpin yang unggul atau kandidat yang meraup suara terbanyak, sebab kita masih menanggung dosa politik akibat kebodohan kita sendiri terhadap pilkada serentak beberapa minggu lalu. 

     Karena faktanya, pengalaman kelam hari kemarin selalu saja membuka ruang kompromi yang semata-mata bertujuan menyelamatkan kekuasaan, apa pun bentuknya.  Semua itu bergantung pada i’tikad dan nilai yang kita bawa dalam menjalankan praktik politik.

Wallahu a’lam bishshawwab.

  • Bagikan