Beragama Seperti Katak

  • Bagikan
(dok pribadi)

Oleh: Andi Syahrir
(PNS Setprov Sulawesi Tenggara)

Seorang Zoologis bernama Jon Costanzo dari Miami University, Ohio, Amerika Serikat, mempublikasikan hasil penelitiannya dalam The Journal of Experimental Biology pada 2013 lalu tentang betapa menakjubkannya kemampuan adaptasi seekor katak terhadap cekaman iklim yang begitu dingin.

Katak Kayu Alaska (Rana Sylvatica) memiliki kemampuan untuk bertahan hidup pada suhu hingga minus enam belas derajat Celsius. Mengalahkan “saudaranya”, Katak Kayu Ohio, yang hanya mampu bertahan hingga minus enam derajat Celcius. Ingat, air membeku pada titik nol derajat Celcius.

Selama proses dingin yang ekstrim, lebih dari 60 persen tubuh katak ini membeku yang –karena ini Alaska– bisa berlangsung selama tujuh bulan. Dia berhenti bernapas. Jantungnya berhenti berdetak. Darahnya berhenti mengalir. Dan tentu saja tidak bisa bergerak. Kesimpulan ringkas seorang peneliti lainnya dari Universitas Alaska, Don Larson, adalah, “untuk semua maksud dan tujuan, mereka mati”.

Ketika musim semi tiba, kebekuan tubuh dan organnya kembali cair, dan katak itu kembali pada kehidupan normalnya. Katak ini memiliki masa yang “dinamis”, dan di lain waktu benar-benar”statis” dalam proses kehidupannya. Ada saat dia diam sekalipun kita merindukan suaranya. Tapi di masa-masa tertentu, kita bosan mendengar nyanyiannya yang berisik.

Mirip dengan cara kita beragama. Gairah spiritual kita begitu membuncah di musim-musim tertentu. Lalu redup –jika tak ingin disebut padam–seiring lepasnya berbagai momentum. Tidak hanya yang sifatnya ritual, tapi juga pada peristiwa-peristiwa umum, misalnya, pada kompetisi politik.

Kita membawa-bawa sanksi Tuhan bernama neraka atas kecenderungan seseorang untuk memilih atau tidak memilih seorang kontestan politik. Ketika Pilkada digelar, “ahli” Al-Qur’an tiba-tiba menguasai seluruh lini masa. Bahkan mereka yang barangkali tidak meyakini kebenaran Al Qur’an juga turut menjadi penafsir.

Beberapa di antara kita juga cukup usil dengan sengaja mendorong-dorong penganut agama lain –yang kebetulan lebih inferior dalam hal kekuasaan dan memiliki ketergantungan atas akses penghidupan– untuk mengenakan atribut keagamaan semacam topi sinterklas yang sensitif bagi keyakinannya.

Sekalipun kemudian bahwa –secara keseluruhan– kostum sinterklas yang berwarna merah putih itu hanyalah ilustrasi yang –menurut Goenawan Mohamad dalam ‘catatan pinggir’-nya– dibuat Norman Rockwell pada sampul majalah The Country Gentlemen pada tahun 1921. Kemudian pada tahun 1940-an, sinterklas juga ditampilkan melalui serangkaian iklan Coca-Cola –pada beberapa literatur disebutkan Coca-Cola sudah menampilkannya sejak tahun 1931.

Sehingga dengan begitu, keotentikan mengenai pakaian “khusus” manusia suci bernama Santo Nikolas itu cukup beralasan untuk diragukan. Dan pada gilirannya menjadi semacam “pembenaran” bahwa ini hanya topi biasa, bukan simbol ke-Kristen-an, yang umat Islam –oleh karenanya– tidak perlu fobia atas konsekuensi tercemarnya aqidahnya.

Sekalipun terdapat fakta bahwa kostum sinterklas bukanlah simbol ke-Kristen-an, tetapi tidak mudah mengubah keyakinan “sebagian” masyarakat Islam bahwa topi sinterklas itu boleh dia gunakan. Atas nama toleransi, seharusnya kita menghargai pilihan mereka. Dan jika ada lembaga yang mengakomodir aspirasi mereka, pihak lain seharusnya bisa menerima itu.

Demikian pula penghargaan yang sama tingginya kita berikan kepada mereka yang memilih untuk tidak bermasalah dengan segala macam atribut atau ucapan selamat hari raya. Kita menghormati pilihan mereka yang berbeda kendatipun berada dalam keyakinan formal yang sama.

Jika tidak mampu menerima perbedaan-perbedaan itu, dan terus memelihara kenyinyiran satu sama lain, peradaban kita seolah mundur menyerupai rezim Stalin yang menuding semua penentang “general lini”-nya sebagai Trotskisme. Atau Nazi-Jerman yang menyamaratakan semua pergerakan yang dibencinya, baik yang berbasis Katolik maupun Yahudi. Atau yang terdekat, pemerintah kolonial Belanda yang –kata Bung Hatta– menyebut semua pergerakan kebangsaan sebagai komunis.

Pada titik ekstrimnya, manakala perayaan keagamaan tiba, hari dimana kedamaian, cinta kasih, dan silaturrahmi menggumpal, negara justru mengerahkan pasukan menjaga tempat peribadahan. Atau setiap kali melihat pria bersorban-berbaju gamis berkeliling di pusat perbelanjaan, harus digeledah oleh sekuriti karena dicurigai membawa bom.

Ini semua berakar dari ketidakmampuan menerima perbedaan. Tidak dimilikinya pengetahuan yang memadai serta tertanamnya prasangka telah menciptakan fobia. Sebuah ketakutan yang keterlaluan.

Berniat baik membela agama Tuhan, tapi dengan cara mencabut nyawa orang lain. Berniat menjaga keamanan dan kenyamanan, tetapi menaruh prasangka atas cara orang mengenakan pakaian. Niat yang sesungguhnya baik, tetapi justru destruktif.

Fobia ini mengingatkan kita akan kritikan Hatta terhadap demokrasi terpimpin Soekarno dengan mengutip kalimat tokoh Mephistopheles dalam Hikayat Faust yang ditulis pujangga Jerman, Johann Wolfgang von Goethe. Mephistopheles berkata, aku adalah “satu bagian dari suatu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk dan selalu menghasilkan yang baik.”

Kebijakan demokrasi terpimpin Soekarno dianggap kebalikan dari kalimat Mephistopheles, “satu bagian dari suatu tenaga yang selalu menghendaki yang baik dan selalu menghasilkan yang buruk.” Sama pemaknaannya dengan praktek-praktek beragama kita yang mengarah pada ketakutan yang keterlaluan.

Tetapi terlepas dari semua itu, poin penting dari semua pro-kontra berbagai isu keagamaan ini adalah kenyataan bahwa keriuhannya senantiasa muncul pada musim-musim tertentu. Usai momentumnya, usai pula kebisingannya. Di masa depan, pada peristiwa yang sama, keributan serupa kembali berulang. Persis seperti siklus beku Katak Kayu Alaska. Kita tidak pernah selesai.

([email protected])

  • Bagikan